Dalam sebuah dialog membahas masa depan partai politik Indonesia
menjelang 2014 pada medio Februari lalu, Burhanuddin Muhtadi
menyampaikan kerinduannya pada parpol aksetis. Partai yang mampu
menampilkan kinerja optimal dengan memberikan contoh melalui pengelolaan
keuangan partai yang transparan, menjadikan politik sebagai wadah
perjuangan nilai bukan transaksional-pragmatis.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, askétisisme adalah paham yg
mempraktikkan kesederhanaan, kejujuran, dan kerelaan berkorban. Jadi,
politik asketis adalah pilihan politik yg mengedepankan fungsionalitas
dengan menjadikan kesederhanaan, kejujuran dan berkorban jalan hidup.
Dalam hiruk pikuk dunia politik Indonesia menjelang 2014, adakah politik
asketis di Indonesia?
Mas Silih Agung Wasesa, penulis best seller Political Branding, dalam
sebuah pertemuan mengatakan bahwa bukunya tersebut murni terispirasi
oleh apa yang dilakukan PKS pada periode 1999-2004 tatkala jargon bersih
dan peduli benar-benar nyata dirasakan masyarakat. Di Yogya, tempat
kuliah beliau, klinik pelayanan kesehatan PKS buka 24 jam melayani.
Bahkan tidak jarang menjemput pasien. Para dokter dan perawat yang
mayoritas kader dan simpatisan, bekerja tekun tanpa berharap imbalasn
bahkan tak jarang nombok dana sendiri agar klinik tetap berjalan. Di
Kelapa Gading tatkala terjadi banjir besar, kepanduan PKS dengan seragam
coklatnya menolong sampai kepelosok dimana aparatpun kadang sulit
menjangkaunya. Banyak diantara yang dibantu itu warga keturunan. Semua
dilayani dengan ihsan. Tatkala diberikan imbalan, pejuang keadilan itu
dengan senyum tulus menolak sambil mengatakan," Kami gembira dapat
menolong Bapak dan Ibu. Ini peluang pahala dan nilai yang diajarkan oleh
PKS pada kami."
Di ranah legislatif, kita temukan gelombang para aleg DPRD PKS yang
dengan teguh menolak politik uang. Mulai dari akh Yudi Widiana di DPRD
Jabar menolak uang kadeudeh, akhYuswar Hidayatullah di DPRD Sumsel dan
diikuti oleh kader lain dipelosok Idonesia. Di Pusat sosok Hidayat
Nurwahid yang tampil lugas dengan kebersahajaannya mempesona publik.
Salah satu stasiun TV sampai kesulitan untuk membawa peralatannya karena
harus masuk jalan sempit menuju rumah Pak Hidayat.
Salah satu kenangan indah tatkala pendiri Forum Lingkar Pena ukhti Helvy
memindahkan sketsa indah kehidupan kader PKS itu kedalam buku fenomenal
Bukan Dari Negeri Dongeng. Bahwa, kesederhanaan, kejujuran dan kerelaan
berkorban itu bukan hanya ada dalam nash Al Qur'an atau tuturan baginda
Nabi Muhammad SAW atau teks buku akhlaq tapi wujud dalam sekumpulan
orang-orang biasa yang terduduk dalam madrasah tarbiyah dalam lingkungan
kader PKS.
Satu dekade telah berlalu. Panggung politik kini banyak dihiasi cerita
pak Jokowi yang blusukan mendengar dan menyapa masyarakat. Di banyak
hasil survei, popularitas dan elektabilitas Jokowi jauh mengungguli
calon yang nota bene sudah beriklan untuk menjadi salah satu kandidat
Presiden RI. Profil Jokowi yang merendah, blusukan, mendengar dan
mencoba sibuk melayani masyarakat sebetulnya mengulangkembali pesan
bahwa publik dari dulu memiliki nurani dan connected dengan
organisasi, orang atau siapun yang memang fokus menjalankan politik
asketisme ini.
Kita, para aktivis dakwah, sebenarnya sejak awal diingatkan menjalankan
sikap ini. Imam Hasan Al Bana, pernah menggadaikan rumah tanpa ada
seorangpun yang tahu untuk membiayai dana bulanan beberapa keluarga
dakwah yang sang suami sedang 'sekolah' di madarasahnya Nabi Yusuf.
Kata Imam Hasan Al Bana," Andai masyarakat tahu, kita lebih mencintai
mereka ketimbang kita mencintai keluarga kita sendiri." Sehingga wajar
tatkala seorang ikhwah mengingatkan dulu 90% waktu kita untuk dakwah dan
hanya 10% untuk diri dan keluarga. Sekarang, kita para aktivis dakwah,
perlu berbenah agar harapan publik pada politik asketis bisa terwujud.
Jakarta, 23 Jumadil Tsani 1434 / 05 Maret 2013
Mardani
Anggota DPR RI
FPKS Komisi 1