Senin, 04 Maret 2013

Membangun Politik Asketis

Dalam sebuah dialog membahas masa depan partai politik Indonesia menjelang 2014 pada medio Februari lalu, Burhanuddin Muhtadi menyampaikan kerinduannya pada parpol aksetis. Partai yang mampu menampilkan kinerja optimal dengan memberikan contoh melalui pengelolaan keuangan partai yang transparan, menjadikan politik sebagai wadah perjuangan nilai bukan transaksional-pragmatis.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, askétisisme adalah paham yg mempraktikkan kesederhanaan, kejujuran, dan kerelaan berkorban.  Jadi, politik asketis adalah  pilihan politik yg mengedepankan fungsionalitas dengan menjadikan kesederhanaan, kejujuran dan berkorban jalan hidup. Dalam hiruk pikuk dunia politik Indonesia menjelang 2014, adakah politik asketis di Indonesia?

Mas Silih Agung Wasesa, penulis best seller Political Branding, dalam sebuah pertemuan mengatakan bahwa bukunya tersebut murni terispirasi oleh apa yang dilakukan PKS pada periode 1999-2004 tatkala jargon bersih dan peduli benar-benar nyata dirasakan masyarakat. Di Yogya, tempat kuliah beliau, klinik pelayanan kesehatan PKS buka 24 jam melayani. Bahkan tidak jarang menjemput pasien. Para dokter dan perawat yang mayoritas kader dan simpatisan, bekerja tekun tanpa berharap imbalasn bahkan tak jarang nombok dana sendiri agar klinik tetap berjalan. Di Kelapa Gading tatkala terjadi banjir besar, kepanduan PKS dengan seragam coklatnya menolong sampai kepelosok dimana aparatpun kadang sulit menjangkaunya. Banyak diantara yang dibantu itu warga keturunan. Semua dilayani dengan ihsan. Tatkala diberikan imbalan, pejuang keadilan itu dengan senyum tulus menolak sambil mengatakan," Kami gembira dapat menolong Bapak dan Ibu. Ini peluang pahala dan nilai yang diajarkan oleh PKS pada kami."

Di ranah legislatif, kita temukan gelombang para aleg DPRD PKS yang dengan teguh menolak politik uang. Mulai dari akh Yudi Widiana di DPRD Jabar menolak uang kadeudeh, akhYuswar Hidayatullah di DPRD Sumsel dan diikuti oleh kader lain dipelosok Idonesia. Di Pusat sosok Hidayat Nurwahid yang tampil lugas dengan kebersahajaannya mempesona publik. Salah satu stasiun TV sampai kesulitan untuk membawa peralatannya karena harus masuk jalan sempit menuju rumah Pak Hidayat.

Salah satu kenangan indah tatkala pendiri Forum Lingkar Pena ukhti Helvy memindahkan sketsa indah kehidupan kader PKS itu kedalam buku fenomenal Bukan Dari Negeri Dongeng. Bahwa, kesederhanaan, kejujuran dan kerelaan berkorban itu bukan hanya ada dalam nash Al Qur'an atau tuturan  baginda Nabi Muhammad SAW atau teks buku akhlaq tapi wujud dalam sekumpulan orang-orang biasa yang terduduk dalam madrasah tarbiyah dalam lingkungan kader PKS.

Satu dekade telah berlalu. Panggung politik kini banyak dihiasi cerita pak Jokowi yang blusukan mendengar dan menyapa masyarakat. Di banyak hasil survei, popularitas dan elektabilitas Jokowi jauh mengungguli calon yang nota bene sudah beriklan untuk menjadi salah satu kandidat Presiden RI. Profil Jokowi yang merendah, blusukan, mendengar dan mencoba sibuk melayani masyarakat sebetulnya mengulangkembali pesan  bahwa publik dari dulu memiliki nurani dan connected dengan organisasi, orang atau siapun yang memang fokus menjalankan politik asketisme ini.

Kita, para aktivis dakwah, sebenarnya sejak awal diingatkan menjalankan sikap ini. Imam Hasan Al Bana, pernah menggadaikan rumah tanpa ada seorangpun yang tahu untuk membiayai dana bulanan beberapa keluarga dakwah yang sang suami sedang 'sekolah' di madarasahnya  Nabi Yusuf. Kata Imam Hasan Al Bana," Andai masyarakat tahu, kita lebih mencintai mereka ketimbang kita mencintai keluarga kita sendiri." Sehingga wajar tatkala seorang ikhwah mengingatkan dulu 90% waktu kita untuk dakwah dan hanya 10% untuk diri dan keluarga.  Sekarang, kita para aktivis dakwah, perlu berbenah agar harapan publik pada politik asketis bisa terwujud.

Jakarta, 23 Jumadil Tsani 1434 / 05 Maret 2013
Mardani
Anggota DPR RI
FPKS Komisi 1