Jakarta - Pemerintah sebaiknya menaikkan harga jual bahan bakar minyak (BBM) ketimbang melakukan pembatasan. Risiko dari menaikkan harga lebih kecil daripada melakukan pembatasan.
Menurut Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera, menaikkan harga BBM lebih simpel daripada pembatasan yang berujung kepada konversi BBG. Belum lagi dalam konversi tersebut masyarakat harus membeli converter kit yang harganya cukup mahal.
Konsekuensi dari naiknya harga BBM bersubsidi alias premium adalah mendorong inflasi. Namun, diperkirakan kenaikan inflasi masih bisa diantisipasi.
"Kalau menaikkan hanya Rp 1.000, inflasi 1 persen, tapi terukur," katanya dalam acara Diskusi Polemik Problem BBM, Jakarta, Sabtu (7/01/2012).
Jika masyarakat langsung dibatasi, dari premium ke pertamax, kata Mardani daya belinya akan berkurang. Pasalnya, jarak antara harga premium dan pertamax sangatlah tinggi.
Dengan turunnya daya beli itu, secara jangka panjang akan membuat banyak orang kehilangan pekerjaan karena perekonomian yang lesu. Belum lagi ditambah fluktuasi harga minyak yang berpengaruh pada pertamax.
"Dan juga kalau sisanya pakai pertamax. Kalau harga minyak naik pertamax kan naik. Daya beli turun, konsumsi turun, produksi turun, nanti akan menyebabkan PHK," ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan hal yang sama. Opsi menaikkan harga sekitar Rp 500-1.000 per liter dinilai lebih masuk akal. Sayangnya, rencana ini pasti dimanfaatkan oleh pihak oposisi sebagai alat politik mengkritik penguasa.
"Ini politik yang menjadi pertimbangan, bukan masalah mensejahterakan masyarakat, BBM jadi alat stabilitasi politik" katanya
Maka dari, kata Tulus, pemerintah belum berani untuk mengambil langkah yang paling masuk akal tersebut. Opsi menaikkan harga juga dinilai akan meresahkan masyarakat yang sudah terbiasa diberi subsidi.
"Tidak ada kebijakan publik yang tidak menimbulkan gejolak sosial masyarakat. Siapapun pasti ada, tergantung bagaimana pemerintah menangani itu," ungkapnya. Winda Veronica Silalahi - detikFinance
Menurut Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera, menaikkan harga BBM lebih simpel daripada pembatasan yang berujung kepada konversi BBG. Belum lagi dalam konversi tersebut masyarakat harus membeli converter kit yang harganya cukup mahal.
Konsekuensi dari naiknya harga BBM bersubsidi alias premium adalah mendorong inflasi. Namun, diperkirakan kenaikan inflasi masih bisa diantisipasi.
"Kalau menaikkan hanya Rp 1.000, inflasi 1 persen, tapi terukur," katanya dalam acara Diskusi Polemik Problem BBM, Jakarta, Sabtu (7/01/2012).
Jika masyarakat langsung dibatasi, dari premium ke pertamax, kata Mardani daya belinya akan berkurang. Pasalnya, jarak antara harga premium dan pertamax sangatlah tinggi.
Dengan turunnya daya beli itu, secara jangka panjang akan membuat banyak orang kehilangan pekerjaan karena perekonomian yang lesu. Belum lagi ditambah fluktuasi harga minyak yang berpengaruh pada pertamax.
"Dan juga kalau sisanya pakai pertamax. Kalau harga minyak naik pertamax kan naik. Daya beli turun, konsumsi turun, produksi turun, nanti akan menyebabkan PHK," ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan hal yang sama. Opsi menaikkan harga sekitar Rp 500-1.000 per liter dinilai lebih masuk akal. Sayangnya, rencana ini pasti dimanfaatkan oleh pihak oposisi sebagai alat politik mengkritik penguasa.
"Ini politik yang menjadi pertimbangan, bukan masalah mensejahterakan masyarakat, BBM jadi alat stabilitasi politik" katanya
Maka dari, kata Tulus, pemerintah belum berani untuk mengambil langkah yang paling masuk akal tersebut. Opsi menaikkan harga juga dinilai akan meresahkan masyarakat yang sudah terbiasa diberi subsidi.
"Tidak ada kebijakan publik yang tidak menimbulkan gejolak sosial masyarakat. Siapapun pasti ada, tergantung bagaimana pemerintah menangani itu," ungkapnya. Winda Veronica Silalahi - detikFinance
Tidak ada komentar:
Posting Komentar