Tribunnews.com - Sabtu, 14 Januari 2012 06:09 WIB
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mardani, Anggota Komisi Energi
Nasional DPR RI melihat pemerintah panik dan tidak memiliki solusi yang
sistematis untuk mengatasi terjadinya overquota Bahan Bakar Minyak (BBM)
subsisdi yang terjadi setiap tahun.
Apalagi, menurutnya, saat ini desakan masyarakat sangat
besar agar pemerintah segera menata masalah kebijakan energi ini.
"Karenanya siapkanlah secara matang dan melibatkan
semua stakeholder termasuk DPR RI, pemerintah jangan bertindak sembrono.”
“Kami (DPR) siap dan punya waktu yang cukup kok untuk
membahas kebijakan ini ke depan. Penyesuaian anggaran untuk melaksanakan kebijakan
ini bisa kita lakukan pada pembahasan APBN Perubahan 2012 nantinya. Yang kami
inginkan adalah menyiapkan kebijakan ini secara matang dan berpihak pada
kesejahteraan rakyat,” ujar anggota DPR RI yang berasal dari Dapil VII Jabar
(Kab. Bekasi, Karawang, Purwakarta) ini, di Jakarta, dalam rilisnya, Jumat
(13/1/2012).
Lebih lanjut ia mengatakan kebijakan subsidi BBM yang
dilaksanakan pemerintah selama ini dianggap gagal karena lebih banyak subsidi
tersebut jatuh kepada orang kaya. Misalnya melalui penggunaann BBM bersubsidi
premium yang diberikan kepada pengguna kendaraan pribadi yang pada tahun 2011
mencapai 25,49 juta kiloliter.
Sementara sebagian besar masyarakat bawah yang tidak
memiliki kendaraan pribadi tidak dapat menikmati subsidi ini.
Lebih lanjut ia menyebutkan akar masalah kebijakan BBM
selama ini adalah adanya kesalahan paradigmatik dan pendekatan yang tidak
komprehensif. Kesalahan paradigmatik itu karena masih berkutat pada energi
konvensional seperti premium, pertamax, solar dan lain-lain. Bahkan dengan
mensubsidinya.
"Sementara itu, kita tidak serius menata sumber enegri
baru mulai dari gas, nabati, hingga elektric vehicle.” Mardani menjelaskan
secara lebih rinci.
“Kami minta agar pemerintah membuat Blueprint Energy
terlebih dahulu. Blueprint Energy ini harus meliputi pemetaan demand energi
seperti kebutuhan untuk transportasi, rumah tangga, industri dan lain-lain dan
dan diklasifikasikan," pintanya.
Selain itu, di sisi suplai juga, pemerintah juga harus
berhitung dengan matang dan berfikir untuk kepentingan bangsa ini ke depan.
Bayangkan, imbuh Mardani, yang juga Ketua DPP PKS Bidang
Humas ini, supply produksi untuk gas 1.5 juta barrel setara minyak dan 0.93
juta barel minyak. Sayangnya, Indonesia masih impor minyak dengan harga mahal.
"Karena kebutuhan kita 1.4 juta barel per hari dan
mengekspor gas 0.78 juta barel setara minyak dengan harga murah. Betapa banyak
kerugian negara dengan 'kebodohan' kebijakan ini. Kemudian, gas alam dijual
dengan 3.8 dolar per MMBTU sementara dalam negeri kekurangan pasokan dan kita
siap membeli 7 dolar per MMBTU. Sungguh ironis.“
Jika saja, tegasnya, pemerintah cerdas dan berani serta
benar-benar berpikir untuk kesejahteraan rakyat, maka tidak kurang dari 79
trilyun devisa dapat diselamatkan. Dan, pada saat yang sama akan mendapat tambahan PDB lebih dari 3%
karena turunnya harga energi di Indonesia.
"Sehingga harga produk barang dan jasa semakin murah
dan menjadikan kita semakin kompetitif. Lebih dari itu, pertumbuhan ekonomi
akan meningkat dan lapangan kerja tersedia lebih banyak,” ujarnya.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar