Senin, 09 Januari 2012

Konversi BBM Belum Jelas

Senin, 09 Januari 2012 pukul 08:42:00 
Pengalihan memakai BBG dinilai tidak mudah.


JAKARTA - Konversi bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG) berlaku April 2012. Namun, DPR dan sejumlah pengamat mengaku belum melihat cetak biru (blue print) mengenai kebijakan teknis ini dari pemerintah.

Anggota Komisi VII DPR Mardani Ali Sera menganggap konversi BBM tak sepenuhnya selesai tahun ini. Kebijakan itu baru berjalan efektif setelah lima tahun. Pertimbangannya simpel. Persiapan pemerintah dianggap belum matang. "Cetak birunya semestinya selaras dengan kesejahteraan rakyat," katanya di Jakarta, akhir pekan lalu.

Pembatasan BBM bersubsidi, menurut anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini,  bukan langkah yang tepat. Permasalahannya terletak pada kebutuhan BBM yang tinggi, berkisar 1,4 juta-1,5 juta barel per hari (bph), tapi tak dapat diimbangi jumlah kilang dalam negeri yang hanya menghasilkan 1,1 juta bph. Akibatnya, Indonesia selalu mengimpor BBM untuk menutupi kekurangan.

Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menganggap kebijakan pemerintah itu sarat kepentingan politik. "Menaikkan harga BBM jauh lebih efektif dibandingkan membatasi," katanya. Pemerintah hanya berputar di tempat yang sulit.

Jika harga BBM dinaikkan Rp 500-Rp 1.000 per liter maka menghemat Rp 38 triliun untuk mengimpor BBM. Sedangkan, jika membatasi BBM bersubsidi, hanya menghemat Rp 12 triliun. Dampak sosialnya, kata Tulus, jauh lebih besar jika membatasi subsidi daripada menaikkan harga.

Apalagi, mayoritas masyarakat dinilai masih bergantung pada BBM bersubsidi sebab infrastruktur gas belum tersedia. Imbasnya, sebagian besar cadangan gas Indonesia diekspor ke Cina, Jepang, dan Korea dengan kisaran harga 3,5-3,8 dolar AS per mmbtu. Padahal, industri dalam negeri sanggup membeli dengan harga tujuh dolar AS per mmbtu.

Wakil Direktur Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, tak mudah untuk mengalihkan masyarakat menggunakan BBG. Perlu infrastruktur besar, misalnya, menyediakan stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG). "Satu SPBG hanya sanggup melayani 500 kendaraan. Bayangkan, berapa banyak kendaraan di Indonesia?" katanya.

Sedangkan, jika menggunakan opsi liquid gas for vehicle (LGV), masyarakat masih harus membeli converter kit seharga Rp 15 juta per unit. Komaidi memperkirakan, masyarakat mampu ini akhirnya akan lebih banyak beralih ke Pertamax. Kondisi ini akan menggoyang sebagian besar ekonomi masyarakat mampu. Daya belinya menjadi turun, produksi juga turun, bahkan berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK).

Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral Widjajono Partowidagdo mengatakan, pemerintah segera menerbitkan revisi aturan pelaksanaan pembatasan BBM bersubsidi. Terutama, revisi Peraturan Presiden 55/2005 dan Perpres 9/2006. Sosialisasinya pe kan depan, katanya di Jakarta, Sabtu (7/1).  c07 ed: zaky al hamzah

KONVERSI BBM KE BBG
Rencana peralihan dari bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG) terus dimatangkan. Meskipun, kebutuhan converter kit untuk menunjang program tersebut masih terbatas sehingga mendorong pemerintah untuk mengimpor.

http://koran.republika.co.id/koran/0/151726/Konversi_BBM_Belum_Jelas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar